Monday, November 17, 2014

WISATA KOTA SUKABUMI - Backpacking

WISATA KOTA SUKABUMI - JAWA BARAT

Bagi saya, Sukabumi adalah miniaturnya kota Bandung meski suhu udaranya tidak sesejuk Bandung - menurut penilaian pribadi loh. Dengan ukuran kota yang tidak besar namun dengan variasi kuliner yang beragam menjadikan Sukabumi lebih mudah dikuasai dari segi mobilitas pelancong dibandingkan dengan Bandung, terlebih lagi aksesibilitas di kota Sukabumi cukup memadai. Saya amati di setiap sudut jalan banyak sekali angkutan kota atau angkot yang berseliweran. Hal tersebut sangat membantu warga atau pelancong untuk mondar-mandir. Kondisi seperti itu tampak mirip dengan tampilan kota Bandung. Jalanannya tidak begitu besar namun padat oleh kendaraan serta pedagang.

Untuk saat ini, moda transport termudah dan paling terjangkau dari Jakarta adalah kereta api. Setelah sekian puluh tahun tidak dioperasikan, jalur kereta api Bogor - Sukabumi akhirnya diaktifkan kembali beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut disambut baik oleh warganya, terbukti dengan selalu penuhnya kereta Pangrangro setiap akhir pekan. Saya bahkan pernah dua kali menjadi korbannya. Tanpa pengetahuan yang cukup, dengan percaya diri saya langsung ke Bogor naik KRL dari Tebet. Setibanya di stasiun, petugas mengumumkan bahwa untuk perjalanan hari itu dan esoknya sudah habis terjual. Wah, gigit jari akhirnya saya harus pulang dengan tangan kosong. Konyolnya, saya ulangi untuk kali kedua pada kesempatan yang berbeda, wkwkwk...  Tidak ingin gagal ketiga kalinya, saya pun memesan tiket via online alias lewat internet. Harga tiket kereta ekonomi adalah Rp 20K sedangkan tiket eksekutif sebesar Rp 50K, sangat terjangkau kan? Oya, kereta api ke Sukabumi tidak memiliki kelas bisnis seperti kereta jurusan ke kota lainnya. Nama kereta api ke Sukabumi adalah KA Pangrango dengan tujuan akhir kota Cianjur.

Stasiun Sukabumi, peron
Stasiun kereta api Sukabumi juga masih kelihatan seolah stasiun yang sudah lama tidak digunakan. Tampilan fisiknya tampak seperti bangunan bersejarah yang baru direnovasi. Hal itu sangat beralasan karena jalur ini adalah jalur yang telah mati lama kemudian dihidupkan kembali. 








Interior stasiun Sukabumi
Setibanya di stasiun Sukabumi, saya duduk sejenak menikmati suasana stasiun sambil melihat keadaan sekitar. Dengan bekal peta google yang sangat membantu, saya pun melanjutkan jalan kaki saya menyusuri jalan stasiun timur menuju jalan protokol Sukabumi yang mengarah ke alun-alun kota sebagai pusat aktifitas warga. 
Protokol Sukabumi, jalan A. Yani




Tidak sulit bagi orang baru di Sukabumi untuk menemukan jalan protokol sebagai poros utamanya karena hanya beberapa meter saja jaraknya dari stasiun. Serasa seperti di Bandung, jalan protokol tersebut cukup sempit namun sangat berjejal oleh kendaraan dan sesak oleh pedagang di sepanjang trotoar, terutama di seputar pasar atau pusat pertokoannya.





Kubah Masjid & Gerbang menuju taman

Setelah melewati keruwetan pusat perbelanjaan tersebut, saya pun menemukan kubah masjid berwarna emas dan saya bisa tebak itu adalah masjid raya yang terletak di seputaran alun-alun atau semacamnya. Benar saja, saya melihat ada sebuah gerbang yang mengarah ke sebuah taman kota dimana dapat saya lihat banyak anak muda beraktifitas sambil menikmati suasana jelang sore. 




Taman kota sukabumi
Perjalanan saya lanjutkan ke arah utara hingga saya menemukan sebuah ruang terbuka berbentuk lapangan. Rupanya di situ lebih banyak warga kota yang melakukan kegiatan olahraga atau hanya sekedar duduk-duduk menikmati suasana sore setelah terik siang mulai memudar. Di sisi utaranya terdapat tulisan besar dengan tajuk 'Taman Lapang Merdeka' terbuat dari logam stainless. Sementara di sisi sebelah barat tampak sebuah bangunan megah seperti gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Setelah saya konfirmasi ternyata bangunan megah tersebut adalah Islamic Center Sukabumi, waaaah... hebat juga ya! Salut, salut, salut!!!
Lapang Merdeka: salah satu pusat kegiatan warga
Secara keseluruhan saya suka sekali menikmati dan berada di salah satu sudut kota Sukabumi ini. Sayangnya saat saya berada di situ suasananya sangat kering karena memang di Indonesia tengah mengalami musim kemarau panjang yang tak kunjung usai. Saya yakin ketika segala sesuatunya dalam keadaan normal, pasti tampak asri, teduh dan mendamaikan. I love Indonesia!!!

Sejenak saya menikmati suasana yang ada sambil menyantap tahu gejrot khas Cirebon yang sedang berjualan di Sukabumi ... jauh sekali pengembaraannya ya. Sambil berbincang dengan warga setempat yang sedang santai di pinggir lapangan yang juga berfungsi sebagai pusat rekreasi ringan dan olahraga, saya terus mengamati keadaan sekitar, sungguh mendamaikan. Kebahagiaan itu bermulai dari diri dan harus kita ciptakan sendiri, jangan menunggunya karena kebahagiaan itu tak akan pernah menghampiri orang yang pasif menunggu.

Islamic Center Sukabumi
Gedung Juang 45 Sukabumi
Keluar sedikit dari lapangan ada sebuah bangunan megah bersejarah. Ternyata bangunan tersebut adalah Gedung Juang atau semacamnya, saya tidak menanyakan kepada orang sekitar sebenarnya apa fungsi gedung itu atau bagaimana sejarahnya. Saya terus saja berjalan menyusuri jalan Suryakencana ke arah utara atau ke arah atas. Seperti info dari mbah google bahwa di jalan tersebut ada hotel yang murah meriah - bukan mewah meriah. Sambil jalan, dapat saya jumpai begitu banyak penjual makanan yang bervariasi persis seperti di Bandung. Saya pun merasa tenang karena tidak bakal kehabisan stok makanan selama mau sedikit berjalan. 

Hingga akhirnya saya menemukan hotel yang saya cari di sekitar jalan Suryakencana. Letaknya agak ke atas yaitu menuju ke daerah wisata Selabintana - itu salah satu alasan saya pergi ke Sukabumi. Untuk membuat tenang, saya sempatkan tanya hal yang masih gamang kepada petugas front office hotel sembari check in. Mereka sangat membantu dan membuat saya semakin tenang untuk berkeliling setelah selesai membersihkan badan dan sebagianya. 


Malam harinya sesuai dengan rencana, saya mulai berkeliling ke tempat-tempat yang direkomendasikan oleh petugas hotel dan mbah google. Wow... Sukabumi memang bertabur kuliner saat malam tiba. Di sepanjang jalan dan di sudut-sudut kota bertaburan tempat untuk menikmati berbagai macam kudapan yang terjangkau namun memuaskan. Datang dan nikmatilah Sukabumi apa adanya dan ada apanya, dijamin puas! Seharusnya Anda malu jika belum tahu banyak Indonesia tetapi sudah pecicilan sampai New York dan lain-lain. Saya tidak bisa menikmati banyak makanan karena kapasitas perut yang tidak mendukung. 

Bubur pengkolan Sukabumi di jalan Suryakencana

Kata mbah google, bubur Bunut adalah yang paling terkenal di Sukabumi, sayangnya saya baru mengingatnya setelah menyantap bubur yang lain yaitu bubur Pengkolan yang tidak jauh dari tempat saya menginap, wkwkwk... sekali lagi masalah kapasitas perut. Pada malam hari, juga ada kudapan khas yang dapat Anda temui di jalan Gudang. Nama kudapan tersebut adalah bandros yang dalam istilah orang Jakarta biasa dikenal sebagai kue pancong. Mereka melayani pelanggannya pada malam hari sampai pagi saja, jadi Anda tidak akan mendapatkannya waktu siang - mereka pada boci alias bobo siang (sok tau).


HARI KEDUA

Wah, setelah bangun tidur saya harus sepagi mungkin check out untuk mengejar waktu ke Selabintana karena saya belum paham angkutan kesana. Menurut petugas hotel, dari depan hotel yang terletak di jalan Suryakencana tersebut saya cukup naik sekali saja lantas akan langsung diantar sampai gerbang Selabintana. Wow ... baik benar ya sopir angkotnya, karena sepengetahuan saya Selabintana itu berada di luar kota Sukabumi alias sudah masuk wilayah kabupaten Sukabumi. Lebih tepatnya, Selabintana berada di lereng gunung Pangrango di sebelah utara kota Sukabumi. 

Tidak sulit dan tidak lama saya menanti angkot yang dimaksudkan. Sekali lagi, untuk meyakinkan diri, saya pun menanyakan ulang kepada sopir angkot dengan pertanyaan yang sama seperti saat nanya kepada petugas hotel, dan tentu saja jawabannya juga sama. Yah, cape deh! Kirain bakalan berbeda biar jadi surprised.

Selama di perjalanan yang tidak membosankan, karena banyak pemandangan baru, saya berbincang banyak dengan sopir angkot yang sangat ramah dan membantu sekali dalam memberi arahan tentang segala sesuatunya. Wah ... hebat, hebat, hebat! Hidup pak sopir. Sayangnya saya tidak menanyakan namanya siapa atau hobinya apa ... wkwkwk. Dengan perjalanan yang begitu jauhnya ternyata ongkosnya cuma 3 ribu saja... wow! Menyenangkan sekali rasanya, padahal saya sudah siapkan anggaran sebesar 20 ribu, hmm ... sing mboten-mboten!

Setibanya di gerbang Selabintana, saya langsung bergegas beli tiket masuk, kalau tidak salah harganya 8 ribu. Mumpung masih pagi pula, saya langsung naik menyusuri jalan yang ada entah kemana jalan yang penting masih dalam area resor. Sangat menyejukkan memandang pemandangan yang masih hijau ke segala penjuru arah di saat musim kemarau yang panjang itu.

Di bawah ini adalah beberapa foto situasi dan kondisi Selabintana:










































Saya meluangkan waktu cukup lama di Selabintana sambil menikmati alam yang hijau dan luas. I love Indonesia! Saya sengaja menyusuri perkebunan teh untuk mengambil gambar dari berbagai sudut, sungguh sangat menyejukkan hati. Ketika selesai berputar-putar (kaya gasing), saya langsung mencari kudapan yang mengundang selera waktu itu. Dan saya melihat ada seorang penjaja bakso di bawah pohon rindang dengan hamparan tikarnya yang begitu lebarnya sehingga sangat menggoda untuk mampir (bisa saja si emang eta teh). 


Saya tidak boleh terlalu lama diam di Selabintana karena bisa saja terlena dan ketinggalan kereta ke Jakarta. Segera setelah puas dengan suasana, saya pun turun ke kota lagi sambil menghabiskan waktu. Barangkali di kota lebih aman karena tidak terlalu jauh dari stasiun seandainya waktunya sudah mepet ke jadwal kereta api. Saya turun dari angkutan umum sengaja agak jauh dari stasiun supaya masih bisa menikmati suasana kota Sukabumi lebih dalam. Di sudut sebuah jalan saya menemukan seorang penjual rujak tumbuk yang tengah melayani pelanggannya. Aduh... rujaknya begitu menggairahkan! Saya pun ikut antri sambil mengamati bagaimana proses pembuatannya biar lebih menjiwai saat menyantap. 


Jalan Jainal Zakse
Saya makan rujaknya sambil berjalan pelan menyusuri jalan protokol. Banyak sekali angkot yang mondar-mandir atau yang sekedar menunggu penumpang di sudut-sudut jalan. Meskipun tidak membuat kemacetan, keadaan itu cukup membuat kota tampak lebih semrawut. Bagaimana pun, Sukabumi memiliki ciri khas sendiri yang membuat rindu untuk datang lagi kesana. Di luar kota Sukabumi juga banyak terdapat obyek wisata alam yang terkenal seperti Pelabuhan Ratu, Situ Gunung, dll. Sebaiknya Anda perlu mampir ke Sukabumi untuk membuktikannya sendiri.***
Ujung Jalan Juanda, saat malam menjadi pusat kuliner




Lalulintas dari arah Bandung


Bagian depan stasiun Sukabumi







Wednesday, November 12, 2014

WISATA CIREBON - KOTA UDANG

WISATA CIREBON - KOTA UDANG



Interior kereta api Sawunggalih
Sabtu (8 Novemeber 2014) pagi hari saya bersama satu orang teman berangkat ke stasiun Pasar Senen. Sebelumnya, saya sudah pesan tiket kereta Sawunggalih secara on-line untuk tujuan Cirebon dan tiket kembali ke Jakarta untuk besok kepulangan kami. Harga tiket kereta bisnis ke Cirebon hanya Rp110K, sedangkan dari Cirebon ke Jakarta adalah Rp 145K. Saya tidak tahu kenapa berbeda harganya padahal sama-sama kelas bisnis dan secara interior juga tidak ada bedanya -- (Mungkin karena perbedaan relasi terjauhnya). Dari tempat tinggal saya di daerah Tebet, saya sengaja memulai perjalanan dengan KRL yang menurut saya saat ini kondisinya sudah menyenangkan karena segala sesuatunya sudah bagus. Setibanya di stasiun Pasar Senen, kami tidak perlu menunggu lama karena kereta yang kami maksud berangkat tidak jauh dari waktu yang tertera di tiket - terlambat beberapa menit saja. 



Selama di perjalanan, kami tidak banyak berbicara karena masing-masing asyik menikmati waktunya. Dengan adanya jalur rel ganda ternyata sangat berpengaruh pada ketepatan waktu tempuh kereta. Hal itu dibuktikan dengan kedatangan kami di stasiun Cirebon yang juga tepat waktu. 

Setelah turun dari kereta, kami sengaja tinggal beberapa saat di peron stasiun untuk melihat situasi dan kondisi sekitar stasiun. Saya salut kepada PT KAI Daop Cirebon atas kebersihan dan kerapihan stasiun yang dikelolanya. Saya merasa betah melihat stasiun Cirebon yang enak dipandang, bahkan saya terlupakan dengan udara panas saat itu. 


Cirebon Station (omzero suparmo)
Stasiun Cirebon saat kami tiba disana
Setelah puas dengan situasi di stasiun, kami tidak bermaksud untuk mencari penginapan. Kami pun langsung meneruskan perjalanan ke Alun-alun Kejaksaan yang berfungsi sebagai penengara (landmark) pusat kotanya. Selama perjalanan kaki kami, banyak sekali tukang becak yang menawarkan jasanya untuk berkeliling kota. Kami memiliki tujuan untuk menikmati kota (city tour) dengan apa adanya tanpa terbebani waktu dan hal lainnya maka kami teruskan jalan kaki kami menuju arah alun-alun Kejaksaan dengan bantuan Google Map.

Siliwangi Street Cirebon (omzero Suparmo)
Suasana jalan menuju ke Alun-alun Kejaksaan
Jalan Siliwangi merupakan salah satu jalan protokol di kota Cirebon. Pada waktu kami melintas, kami tidak menemukan kemacetan yang berarti di sepanjang jalan tersebut. Bahkan cenderung lengang dan leluasa, baik dari kepadatan kendaraan maupun polusinya. Sebelum menemukan Alun-alun Kejaksaan, kami melewati sebuah bangunan lama yang tampak elegan berwarna putih. Selanjutnya kami pun mengetahui bangunan tersebut adalah Balai Kota Cirebon yang berada tepat di seberang kantor DPRD Cirebon.

Cirebon City Hall (omzero suparmo)
Balai Kota Cirebon
Sambil mengagumi bangunan megah tersebut, kami terus melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju sebuah ruang terbuka yang berada di dekat perempatan jalan. Di sisi sebelah baratnya, terdapat bangunan Masjid Raya Cirebon yang berada dalam kompleks Islamic Center. Sayangnya, ketika kami ambil gambar Alun-alun dan sekitarnya, gunung Ceremai yang berada di belakang masjid tersebut agak tertutup kabut atau awan sehingga terhalang keindahan pemandangannya.

Kejaksaan City Square Cirebon (omzero suparmo)
Alun-alun Kejaksaan berlatar Masjid Raya Attaqwa
Kami berhenti sejenak di sekitar alun-alun sambil beristirahat. Kami lihat beberapa pedagang yang menjajakan dagangannya seperti minuman dingin, rujak, atau makanan khas setempat. Setelah mendapatkan kekuatan lagi, kami teruskan perjalanan ke arah selatan dengan tujuan kompleks keraton. Ternyata semakin ke selatan, kami semakin masuk ke area pusat perbelanjaan dimana kami menjumpai berderet supermarket, dan pertokoan. Di sekitar itu pula kami berhenti untuk menikmati dawet ayu yang sangat menyegarkan di suasana panas seperti itu.

Bank of Indonesia Cirebon branch (omzero suparmo)
Bank Indonesia cabang Cirebon
Kami berubah pikiran untuk mampir dulu ke arah pantai ketika kami lihat ada Taman Lalu Lintas Ade Irma melalui Google Map. Kami pun berbelok ke arah kiri di jalan Pasuketan hingga tiba di daerah pelabuhan. Di situ kami juga menjumpai banyak bangunan lama seperti kawasan Kota Tua Jakarta. Salah satu bangunan lama yang terlihat megah dan menonjol adalah BAT (British American Tobacco) yang berada di sekitar jalan menuju pelabuhan. Tidak jauh dari situ, kami melihat ada sebuah bangunan putih kuno tetapi masih terawat dan memiliki bentuk khas. Setelah dekat, ternyata bangunan tersebut adalah Bank Indonesia cabang Cirebon.

Di sepanjang jalan Yos Sudarso, dimana kami menjumpai Bank Indonesia tersebut, kami tidak pula menemukan jalan masuk menuju Taman Lalu-lintas. Bahkan ketika kami tanyakan kepada seorang satpam yang berada di sekitar situ pun dia tidak mengetahuinya. Karena perut sudah keroncongan, kami putuskan untuk mencari makan dulu supaya bisa beristirahat sekalian menanyakan keberadaan taman yang kami maksudkan. Kebetulan di sekitar situ terdapat warung makan di pinggir jalan yang bertuliskan 'Empal Gentong' dan sesuai apa rencana kami, maka tanpa panjang lebarpun kami mampir dan menyantap hidangan khas Cirebon yang terkenal tersebut.

Empal Gentong khas Cirebon
Ini adalah kali pertama saya menyantap empal gentong yang terkenal itu. Setelah saya lihat dan rasakan, bisa saya simpulkan bahwa empal gentong pada dasarnya seperti soto Betawi khas Jakarta. Kenapa disebut sebagai empal gentong, mungkin karena alat untuk memasaknya adalah panci besar yang juga disebut sebagai gentong. Dari segi cita rasa saya anggap tidak jauh berbeda dari soto Betawi namun ada perbedaan dari isi daging atau macam-macam dagingnya.

Usai menyantap empal gentong, kami tidak langsung beranjak tetapi masih menikmati suasana Cirebon sambil menanyakan tentang taman Lalu-lintas. Menurut pengakuan penjual empal gentong tersebut, dahulu taman lalu-lintas memang terkenal dan menjadi salah satu destinasi wisata warga sekitar. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkurangnya daya tarik ditambah tidak seriusnya pengelolaan resor tersebut, saat ini hanya menjadi tempat biasa yang kosong dari pengunjung. Dengar-dengar dari selentingan bahwa sekarang dibeli oleh salah satu developer besar untuk dikembangkan menjadi superblok atau sejenisnya (nov2014).

Mendengar penuturan dari penjual empal gentong tersebut, kami pun berubah haluan untuk langsung menuju ke kompleks keraton Kasepuhan. Kebetulan teman kami yang asli Cirebon menjemput kami sehingga kami memiliki pemandu yang handal. Selanjutnya kami bergerak cepat ke arah Keraton Kasepuhan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri saat itu. 





Keraton Kasepuhan merupakan keraton tertua dari empat keraton yang berada di Cirebon (sepuh berarti tua). Kami tidak begitu mengikuti silsilah atau sejarah keraton tersebut secara detail kronologisnya tetapi secara umum - katanya - keraton kanoman didirikan setelah perpecahan dari kasepuhan. Setelah kanoman, maka didirikan keraton Kacirebonan menyusul perpecahan antar-anggota kerajaan dan yang terakhir adalah keraton Keprabonan - setidak-tidaknya itu yang kami dengar.

Gapura masuk ke Siti Hinggil Keraton Kasepuhan
Kami meluangkan waktu agak lama di sekitar keraton untuk menggali informasi dan mengambil dokumentasi. Kami mendapati beberapa pemandu yang siap mengantar berkeliling sambil memberi penjelasan detail tentang sejarah keraton Kasepuhan. Selain pemandu, kami juga menjumpai beberapa penjual buku panduan dan beberapa peminta-minta. Barangkali karena tawaran mereka yang begitu proaktif sehingga memberi kesan tidak nyaman kepada para pengunjung. Yang agak menganggu kenyamanan adalah beberapa motor dibebaskan masuk kawasan dalam keraton sehingga menimbulkan kesan tidak alami dan amburadul. Keraton Kasepuhan benar-benar merupakan situs peninggalan sejarah karena tidak lagi difungsikan sebagai pusat pemerintahan seperti keraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Hal itu akhirnya mengarah kepada keterlantaran beberapa situs yang ada sehingga tampak tidak terawat. 


Bangunan di sisi timur yang menjadi tempat penyimpanan kereta kencana. 



Bangunan Siti Hinggil keraton Kasepuhan





Arsitektur khas Kasepuhan




omzero
Sebuah pendopo di sisi luar sebelum masuk ke pekarangan utama





Kereta Kencana Kasepuhan yang masih dilestarikan





Patung harimau pertanda bagian dari wilayah Siliwangi














Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon




Di sebelah luar kompleks keraton Kasepuhan, tepatnya di sisi kiri pintu keluar keraton, ada sebuah masjid unik bernama Sang Cipta Rasa. Masjid ini disebut unik karena tidak memiliki kubah seperti halnya masjid yang lain. Selain itu, masjid ini memiliki gapura masuk seperti gapura keraton yang diberi warna merah muda - tampak gaul.


Kami melanjutkan perjalanan ke daerah jalan Brigjend. Dharsono. Meskipun agak jauh letaknya dari kompleks keraton, perjalanan tidak makan waktu lama karena di Cirebon tidak ada kemacetan seperti di Jakarta. Di sana kami diajak mengunjungi sebuah situs berupa gua yang terkenal dengan nama Sunyaragi. Secara terminologi, 'sunya' artinya senyap atau sunyi dan 'ragi' berarti raga atau badan. Gua tersebut konon digunakan oleh sang raja untuk bertapa atau bersemedi. Di dalamnya juga ada tempat pemandian putri raja - entah apa kaitannya saya tidak menggali informasinya. Konon juga, di salah satu tempat dari gua tersebut ada pintu tembus ke Mekah Arab Saudi, begitu yang saya dengar dari penuturan teman kami. Dalam kompleks gua tersebut terdapat lorong-lorong sempit yang saling terhubung. Saya tidak tahu apa tujuan pembuatan gua tersebut. Bahkan konsep dari gua itu sendiri tidak bisa saya tebak karena bentuknya yang 'aneh' bagi orang awam. Pasti ada penjelasan untuk itu jika kita telusuri kepada ahlinya. Bersyukur kami tiba di lokasi sudah agak sore sehingga tidak kepanasan karena di situ tidak ada pohon di area gua dan bisa dibayangkan betapa panasnya jika kami kesana pada saat tengah hari.





Secara struktur, gua Sunyaragi dibuat dengan bahan dasar batu karang atau batuan laut. Yang menjadikan saya takjub adalah, berapa banyak batu yang dialihkan dari laut dan bagaimana mereka dulu mengalihkan begitu banyak batuan tersebut. Apalagi secara lokasi, gua Sunyaragi justru jauh dari pesisir dibandingkan kota lama atau kawasan keraton. 





Pada saat kami berkunjung, gua Sunyaragi sedang dalam tahap renovasi. Kami lihat juga bagian tertentu gua sudah disangga dengan bambu karena hampir roboh. Banyak juga bagian lainnya yang diremajakan atau ditambah dengan fitur baru. Kondisi tersebut sedikit banyak jadi mengganggu pemandangan kami atau pengunjung lain karena banyak terdapat tiang atau bambu pancang di sana sini.

Sunyaragi Open Stage (omzero suparmo)
Panggung Terbuka Sunyaragi

Sebelum masuk ke gerbang utama gua, kita akan melihat sebuah pelataran yang cukup luas dengan arsitektur yang sama dengan bangunan bersejarah lain di Cirebon. Ternyata pelataran tersebut adalah sebuah panggung terbuka yang pada masanya dulu sering digunakan sang Raja dan pembesar kerajaan untuk menyaksikan pertunjukkan khas Cirebon. 


Sunyaragi Gate (omzero suparmo)
Gerbang Sunyaragi
Gua Sunyaragi sisi selatan


Bagian Utama gua sedang diremajakan
Setelah agak lama kami menyusuri lorong-lorong gua, kami pun mengakhiri hari itu. Kami menuju ke jalan Siliwangi di daerah pusat kota untuk mencari tempat menginap. Kebetulan pada saat kami berjalan menyusuri jalan Siliwangi setibanya di Cirebon siang harinya, kami melihat ada sebuah hotel yang lumayan bagus dan menawarkan harga promo. Cirebon memiliki sederet hotel yang mudah dijangkau baik dari lokasi maupun dari segi keuangan. Ketika kami keluar dari stasiun, langsung dapat kami lihat berjajar hotel besar maupun penginapan sekelas guest house. Dan kami langsung menuju hotel yang kami maksud tersebut yaitu Hotel Priangan yang lokasinya di sebelah selatan Alun-alun Kejaksaan. 

Hotel Priangan saat malam hari, Cozy & Tenang
Pada sore itu Cirebon sempat diguyur hujan yang tidak lebat tetapi cukup menyejukkan setelah berbulan-bulan tidak ada hujan di wilayah Indonesia. Setelah kami membersihkan diri, kami berjalan keluar di sekitar Alun-alun untuk melihat apa yang berlangsung di sana sekaligus mencari kudapan khas Cirebon yang lain. Setibanya di Alun-alun, dapat kami lihat banyak pedagang di sekeliling alun-alun dengan latar belakang lampu malam yang indah dan mendamaikan, ditambah suasana sejuk setelah gerimis sorenya. Teman saya menyantap nasi Jamblang yang tersedia di sekitar situ, sedang saya lebih asyik menikmati tahu gejrot sebagai makanan selingan - sebuah kemewahan.

Bulan tampak bulat setelah hujan gerimis sehingga menambah suasana damai

Masjid Attaqwa malam hari


Patung topeng kelana di pekarangan rumah dinas wali kota
Kami selanjutnya berjalan ke arah utara sambil menikmati jalanan malam hari. Tidak jauh dari alun-alun kami menjumpai patung topeng kelana khas Cirebon di depan pekarangan sebuah rumah yang terang benderang. Rumah tersebut sangat menonjol dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sampingnya karena terdapat banyak lampu sorot dari berbagai sudut. Akhirnya kami tahu bahwa rumah tersebut adalah rumah dinas wali kota Cirebon.




Rumah dinas wali kota Cirebon
HARI KEDUA





Agak malas kami beranjak dari tempat tidur pagi itu karena kami tahu bahwa hari itu adalah hari untuk bersantai menikmati waktu. Tidak lama bermalas-malasan, kami pun terpaksa harus beranjak karena sarapan sudah diantar ke kamar. Kami memulai hari dengan menikmati sarapan senikmat mungkin. Setelah selesai menyantap sarapan, kami harus segera berkemas untuk melanjutkan agenda hari itu.





Benar saja, belum selesai kami berkemas, teman kami yang baik hati sudah menunggu di parkiran - semangatnya untuk mengenalkan Cirebon memang luar biasa! (makasih mas Satria) Untuk memudahkan, kami langsung check out supaya siangnya bisa langsung ke stasiun. 





Tujuan pertama adalah nasi jamblang Ibu Nur. Saya lupa nama jalannya tetapi setidaknya kami ingat jalan masuknya dari arah alun-alun Kejaksaan. Tidak jauh juga jaraknya dari hotel tempat kami menginap. Kata teman kami, presiden SBY pernah juga mampir ke Nasi Jamblang Ibu Nur. Dengan cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, kami pun merasa perlu makan di tempat itu.


Rumah Makan Nasi Jamblang Ibu Nur
Benar saja! Saat kami tiba di rumah makan tersebut, sudah mengantri banyak pelanggan di dalam rumah. Tampak pula dari sederetan parkir kendaraan di depan rumah makan, bahkan hingga parkir di rumah seberangnya. Saya belum pernah makan nasi Jamblang sebelumnya, dan saya juga belum pernah tahu tentang variasinya. Ternyata nasi jamblang itu seperti nasi kucing yang dijumpai di daerah Jawa Tengah namun varian lauk pauknya lebih banyak dan porsi lauknya termasuk besar. Bagi saya, yang unik itu adalah bentuk tempe gorengnya yang berbentuk kubus serta sambalnya yang tidak dihaluskan melainkan dipotong-potong tipis layaknya sambal matah dari Bali atau dabu-dabu Manado. Hmm... yummy!

Nasi Jamblang
Kami tidak banyak-banyak menyantap nasi jamblang karena setelahnya kami akan mengisi perut lagi dengan menu lainnya. Kali ini teman kami membawa kami ke jalan Karanggetas daerah pusat kota. Konon, pemimpin besar atau pejabat negara yang lewat jalan itu maka akan luntur kepintaran, pengaruh atau kebesarannya - begitu juga presiden Soeharto sebelum lengser tahun 1998 juga lewat jalan tersebut satu tahun sebelumnya. Tempat kami menikmati es kopyor terkenal tersebut ternyata bukan sebuah tempat yang besar, melainkan toko berukuran sedang yang di dalamnya juga menjual sirup dan barang-barang lain yang tidak ada kaitannya dengan es kopyor. Setelah menunggu sesaat, kami akhirnya menikmati es kopyor yang benar-benar kopyor.... segar dan lembut! 

Sirup buatan rumahan tanpa pemanis


Es Kopyor khas Cirebon
Gerbang ke Makam Sunan Gunung Jati
Tidak terasa waktu berjalan cepat. Kami harus segera ke stasiun sebelum pkl. 13.00 kalau tidak ingin ketinggalan kereta. Tetapi kami masih memiliki satu tempat lagi untuk dikunjungi, yaitu makam Sunan Gunung Jati. Lokasinya sekitar empat kilo meter ke arah Indramayu dari pusat kota. Langsung saja kami tancap gas supaya tidak ketinggalan kereta api. Tiba di sana kami langsung diserbu oleh para peminta-minta yang memanfaatkan makam sebagai komoditi mereka dalam menjalankan profesinya. Di area parkir banyak berjajar penjual penjual produk terkait dengan kegiatan ziarah. Kami juga melihat banyak benda-benda pusaka atau azimat atau yang lain-lain. Rata-rata para peminta ataupun penjual disana menerapkan prinsip setengah memaksa kepada para pengunjung. Dan hal itu sangat mengintimidasi serta membuat ketidaknyamanan pengunjung maupun peziarah. Semoga pemerintah setempat peka akan hal itu sehingga melakukan tindakan penanggulangannya.

Selesai sudah perjalanan kami di kota Cirebon dengan selesainya kunjungan ke makam Sunan Gunung Jati. Satu hal lagi yang saya ingin coba adalah makan empal asem. Saya bertekad untuk tidak pulang dulu sebelum makan empal asem siang hari karena saya tahu bahwa makanan ini sangat cocok disantap saat panas terik. Kebetulan di depan stasiun Cirebon ada penjual empal asem yang cukup enak dan kami pun mampir dulu sebelum boarding ke kereta. Hmmm ... segar!!! Ada sensasi asem karena di dalamnya terdapat belimbing wuluh (belimbing sayur) tomat yang membuat rasanya sangat sedap. Empal asem tidak memiliki kuas bersantan sehingga tampilannya lebih seperti soup iga. 

Empal Asem Cirebon
Saya yakin masih banyak tempat atau kuliner khas Cirebon yang perlu dinikmati. Sayangnya kami hanya punya waktu singkat untuk keliling kota. Dan tentu saja di luar kota Cirebon ada yang lebih bagus lagi untuk dikunjungi atau dinikmati. Anda yang belum ke Cirebon, silakan berkunjung kesana sebelum Anda berkunjung ke kota di luar negara kita. I Love Indonesia!!! 

RADIO FM DEKADE 80-90

Waktu masih SMA dulu saya tinggal di sebuah desa sekitar lima kilometer dari kota Sragen dengan kondisi jalan yang masih belum diaspal dan t...